Pengertian Sholawatan/Pujian dan Historisnya
Pujian bersal dari akar
kata puji, kemudian diberi akhiran “an” yang artinya :
pengakuan dan
penghargaan dengan tulus atas kebaikan/ keunggulan sesuatu. Yang dimaksud
dengan pujian di sini ialah serangkaian kata baik yang berbahasa Arab atau
berbahasa Daerah yang berbentuk sya’ir berupa kalimat-kalimat yang isinya
mengagungkan asma Allah, dzikir, do’a, shalawat, seruan atau nasehat yang
dibaca pada saat di antara adzan dan iqamat.
Secara historis, pujian
tersebut berasal dari pola dakwah para wali songo, yakni membuat daya tarik
bagi orang-orang di sekitar masjid yang belum mengenal ajaran shalat.
Al-hamdulillah dengan dilantunkannya pujian, tembang-tembang/sya’ir islami
seadanya pada saat itu secara berangsur/dikit demi sedikit, sebagian dari
mereka mau berdatangan mengikuti shalat berjamaah di masjid.
Sholawatan/Pujian Ditinjau dari Aspek Syari’at
Secara tekstual, memang
tidak ada dalil syar’i yang sharih (jawa : ceplos) mengenai bacaaan pujian
setelah di kumandangkannya adzan, yang ada dalilnya adalah membaca do’a antara
adzan dan iqamat.
Dari
Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ
مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ
فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ
اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ
حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Apabila
kalian mendengar mu’adzin, maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh
muadzin, lalu bershalawatlah kepadaku, maka sungguh siapa saja yang
bershalawat kepadaku sekali, Allah akan bershalawat kepadanya sebanyak 10x.
Kemudian mintalah pada Allah wasilah bagiku karena wasilah adalah sebuah
kedudukan di surga. Tidaklah layak mendapatkan kedudukan tersebut kecuali untuk
satu orang di antara hamba Allah. Aku berharap aku adalah dia. Barangsiapa
meminta wasilah untukku, dia berhak mendapatkan syafa’atku.” (HR. Muslim
no. 875)
Sabda Nabi SAW :
الدُّعَاءُ
بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ مُسْتَجَابٌ، فَادْعُوْا. رواه أبو يعلى
Artinya :
“Do’a yang dibaca antara adzan dan iqamat itu mustajab
(dikabulkan oleh Allah). Maka berdo’alah kamu sekalian”. (HR. Abu Ya’la)
Kemudian bagaimana
tinjauan syari’at tentang hukum bacaan pujian di masjid atau mushalla seperti
sekarang ini? Perlu diketahui, bahwa membaca dzikir dan sya’ir di masjid atau
mushalla merupakan suatu hal yang tidak dilarng oleh agama. Pada zaman
Rasulullah SAW. para sahabat juga membaca sya’ir di masjid. Diriwayatkan dalam
sebuat hadits :
عَنْ
سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ وَهُوَ
يُنْشِدُ فِى الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أَنْشَدْتُ وَفِيهِ مَنْ
هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِى هُرَيْرَةَ فَقَالَ أَسَمِعْتَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَجِبْ عَنِّى
اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ. قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ. رواه أبو دادو والنسائي
Artinya :
“Dari Sa’id bin
Musayyab ia berkata : suatu ketika Umar berjalan bertemu dengan Hassan bin
Tsabit yang sedang melantunkan sya’ir di masjid. Umar menegur Hassan, namun
Hassan menjawab : aku melantunkan sya’ir di masjid yang di dalamnya ada seorang
yang lebih mulia dari pada kamu, kemudian dia menoleh kepada Abu Hurairah.
Hassan melanjutkan perkataannya, Ya Allah, mudah-mudahan Engkau menguatkannya
dengan ruh al-qudus. Abu Hurairah menjawab : Ya Allah, benar (aku telah
mendengarnya)”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
Sehubungan dengan riwayat
ini syaikh Isma’il Az-Zain dalam kitabnya Irsyadul Mukminin menjelaskan : Boleh
melantunkan sya’ir yang berisi puji-pujian, nasehat, pelajaran tata karama dan
ilmu yang bermanfaat di dalam masjid.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya
Tanwirul Qulub hal 179 juga menjelaskan :
وَأَمَّا
الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقِبَ
اْلأَذَانِ فَقَدْ صَرَّحَ اْلأَشْيَاخُ بِسُنِّيَّتِهِمَا، وَلاَ يَشُكُّ مُسْلِمٌ
فِيْ أَنَّهُمَا مِنْ أَكْبَرِ الْعِبَادَاتِ، وَالْجَهْرُ بِهِمَا وَكَوْنُهُمَا
عَلَى مَنَارَةٍ لاَ يُخْرِجُهُمَا عَنِ السُّنِّيَّةِ. إهـ
Artinya :
“Adapun membaca
shalawat dan salam atas Nabi SAW. setelah adzan (jawa : Pujian) para masyayikh
menjelaskan bahwa hal itu hukumnya sunat. Dan seorang muslim tidak ragu bahwa
membaca shalawat dan salam itu termasuk salah satu cabang ibadah yang sangat
besar. Adapun membacanya dengan suara keras dan di atas menara itu pun tidak
menyebabkan keluar dari hukum sunat”.
Dari
hadits di atas jelas bahwa ada tuntunan bershalawat dan meminat wasilah bagi
beliau setelah adzan.
Ada lagi manfaat lain,
yaitu :
-
Untuk mengobati rasa jemu sambil menunggu pelaksanaan shalat berjamaah;
- Mencegah para
santri agar tidak besenda gurau yang mengakibatkan gaduhnya suasana;
- Mengkonsentrasikan
para jamaah orang dewasa agar tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu
ketika menunggu sahalat jamaah dilaksanakan.
Dengan beberapa alasan
sebagaimana tersebut di atas, maka membaca pujian sebelum pelaksanaan shalat
jamaah di masjid atau mushalla adalah boleh dan termasuk amaliyah yang baik,
asalkan dengan memodifikasi pelaksanaannya, sehingga tidak mengganggu orang
yang sedang shalat. Memang soal terganggu atau tidaknya seseorang itu terkait
pada kebiasaan setempat. Modifikasi tersebut misalnya : dengan cara membaca
bersama-sama dengan irama yang syahdu, dan sebelum imam hadir di tempat shalat
jamaah.
0 Response to "SHALAWATAN SETELAH ADZAN "
Post a Comment