Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata:
Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia
ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada
tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah
Pencipta segala sesuatu”
(Lihat al-Fiqh al- Absath karya al-Imam Abu Hanifah
dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h.
20).
Allah itu unlimited tidak ada batas tempat &
batasan shifat wujud bagiNya. Hijab Dzatnya adalah CahayaNya. Seandainya Allah
menyingkapkan hijabNya maka akan terbakar/hancur luluh seluruh makhluk (HR.
Muslim, Bukhari).
Istiwa itu maklum artinya duduk & yg duduk di atas
bangunan Arsy itu malaikat Jibril. Disebutkan dalam hadits " Rasulullah
melihat DIa di atas arsy di udara yakni JIbiril" (HR. Muslim).
Kata al-yad ”اليد” dalam bahasa Arab memiliki makna yang
sangat banyak, di antaranya dalam makna an-Ni’mah wa al-Ihsân ”النعمة
والإحسان”,
artinya; ”Karunia (nikmat) dan kebaikan”. Adapun makna perkataan orang-orang
Yahudi dalam firman Allah: Yadullâh Maghlûlah ”يد الله مغلولة” adalah dalam makna Mahbûsah ’An
an-Nafaqah ”محبوسة عن النفقة”, artinya menurut orang-orang Yahudi Allah
tidak memberikan karunia dan nikmat, [bukan arti ayat tersebut bahwa Allah
memiliki tangan yang terbelenggu].
Makna lainnya, kata al-yad dalam pengertian
”al-Quwwah”, ”القوة” ; artinya ”Kekuatan atau kekuasaan”.
Orang-orang Arab biasa berkata: ”Lahû Bi Hadzâ al-Amr Yad”, ”له بهذا
الأمر يد”,
artinya: ”Orang itu memiliki kekuatan (kekuasaan) dalam urusan ini”. Firman
Allah: ”بل يداه مبسوطتان”; yang dimaksud adalah dalam pengertian
ini, artinya bahwa nikmat dan kekuasaan Allah sangat luas [bukan artinya bahwa
Allah memiliki dua tangan yang sangat lebar].
Demikian pula firman Allah tentang penciptaan Nabi
Adam: ”لما خلقت بيدي”; juga dalam pengertian bahwa Allah
menciptakan Nabi Adam dengan kekuasaan-Nya dan dengan karunia dari-Nya.
Kemudian pula diriwayatkan dari Imam al-Hasan dalam tafsir firman Allah: ”يد الله فوق
أيديهم”;
beliau berkata: ”Kata ”يد” di sini yang dimaksud adalah karunia dan
nikmat Allah”. Inilah penafsiran-panafsiran dari para ulama Ahli Tahqîq.
Apabila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana
Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti
berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt
turun kelangit yang terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana
diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758,
sedangkan kita memahami bahwa waktu
di permukaan bumi terus bergilir, Maka bila disuatu tempat adalah tengah malam
, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat
dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan
mengitari Bumi di langit yang terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini,
dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah bahwa hujjah yang
mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dengan hadits qudsiy diatas,
yang berarti Allah itu tetap di langit yang terendah dan tak pernah kembali ke
Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy
mengatakan Allah dilangit yang terendah.
Ulama Salaf sepakat bahwa “Allah ada tanpa arah dan
tanpa tempat” sebagaimana dinukilkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam
kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 254 :
“Ketahuilah
bahwa al-Qarafiy dan lain nya, mereka telah menghikayah dari Imam Syafi’i, dan
Imam Malik, dan Imam Ahmad, dan Imam Abi Hanifah –Radhiyallahu ‘anhum- akan
pendapat dengan kufur orang yang berkata dengan Jihat (orang yang berkata
:Allah berada di arah atas atau bawah) dan orang yang menjisimkan Allah (orang
yang berkata :Allah adalah benda atau bersifat dengan sifat benda) dan mereka
mentahkik dengan demikian”.Itulah jawaban Ahlus Sunnah Waljama’ah dan para
Ulama Salaf dan Khalaf untuk orang yg bertanya “Dimana Allah” sekaligus menjadi
sanggahan bagi orang yg berkeyakinan “Allah bersemayam di atas Arasy” dan
menisbahkan keyakinan mereka kepada Ahlus Sunnah dan Ulama Salaf, walaupun para
ulama Ahlus Sunnah berbeda dalam bahasa penyampaian, namun berujung pada satu
tujuan yaitu mensucikan Allah dari arah dan tempat, karena pada akidah
bertempat atau berarah terdapat keserupaan Allah dengan makhluk-Nya, sekalipun
membedakan kaifiyat nya, tetap saja kesamaan itu masih ada, cuma berbeda pada
kaifiyat saja, sementara ketidaksamaan Allah dengan makhluk bukan pada kaifiyat
saja, tapi juga pada hakikat dzat dan sifat-Nya.Allah ada tanpa arah dan tanpa
tempat – Maha suci Allah dari segala sifat makhluk
Suatu ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna
"Istawa", beliau menjawab: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu
apakah Allah berada di langit atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir.
Karena perkataan semacam itu memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan
barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah bertempat maka ia adalah seorang
musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhuk- Nya” (Pernyataan al-Imam Abu
Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di antaranya oleh al-Imam Abu Manshur
al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al- Akbar, al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam
dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam Daf’u Syubah Man
Syabbah Wa Tamarrad, dan al- Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam al-Burhan al- Mu’yyad).
Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan
sebagai berikut: “Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan,
tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak
dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan
tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak
memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak
ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak
menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari
makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya
Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).
al-Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu Ja'far ath-Thahawi
(w 321 H) dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan nama "al-'Aqidah
ath-Thahwiyyah". Beliau berkata :
" وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ
مَعَانِي اْلبَشَرِ فَقَدْ كَفَر "
"Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu
sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir". Padahal telah
diketahui bahwa beribadah kepada Allah hanya sah dilakukan oleh orang yang
meyakini bahwa Allah dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun dari
makhluk-Nya.
0 Response to "ALLAH ADA TANPA TEMPAT, TANPA ARAH BAGIAN KE-2"
Post a Comment