ALLAH ADA TANPA TEMPAT, TANPA ARAH BAGIAN KE-2


Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
 
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” 

(Lihat al-Fiqh al- Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).



Allah itu unlimited tidak ada batas tempat & batasan shifat wujud bagiNya. Hijab Dzatnya adalah CahayaNya. Seandainya Allah menyingkapkan hijabNya maka akan terbakar/hancur luluh seluruh makhluk (HR. Muslim, Bukhari).


Istiwa itu maklum artinya duduk & yg duduk di atas bangunan Arsy itu malaikat Jibril. Disebutkan dalam hadits " Rasulullah melihat DIa di atas arsy di udara yakni JIbiril" (HR. Muslim).

Kata al-yad ”اليد” dalam bahasa Arab memiliki makna yang sangat banyak, di antaranya dalam makna an-Ni’mah wa al-Ihsân ”النعمة والإحسان”, artinya; ”Karunia (nikmat) dan kebaikan”. Adapun makna perkataan orang-orang Yahudi dalam firman Allah: Yadullâh Maghlûlah ”يد الله مغلولة” adalah dalam makna Mahbûsah ’An an-Nafaqah ”محبوسة عن النفقة”, artinya menurut orang-orang Yahudi Allah tidak memberikan karunia dan nikmat, [bukan arti ayat tersebut bahwa Allah memiliki tangan yang terbelenggu].

Makna lainnya, kata al-yad dalam pengertian ”al-Quwwah”, ”القوة” ; artinya ”Kekuatan atau kekuasaan”. Orang-orang Arab biasa berkata: ”Lahû Bi Hadzâ al-Amr Yad”, ”له بهذا الأمر يد”, artinya: ”Orang itu memiliki kekuatan (kekuasaan) dalam urusan ini”. Firman Allah: ”بل يداه مبسوطتان”; yang dimaksud adalah dalam pengertian ini, artinya bahwa nikmat dan kekuasaan Allah sangat luas [bukan artinya bahwa Allah memiliki dua tangan yang sangat lebar].

Demikian pula firman Allah tentang penciptaan Nabi Adam: ”لما خلقت بيدي”; juga dalam pengertian bahwa Allah menciptakan Nabi Adam dengan kekuasaan-Nya dan dengan karunia dari-Nya. Kemudian pula diriwayatkan dari Imam al-Hasan dalam tafsir firman Allah: ”يد الله فوق أيديهم”; beliau berkata: ”Kata ”يد” di sini yang dimaksud adalah karunia dan nikmat Allah”. Inilah penafsiran-panafsiran dari para ulama Ahli Tahqîq.

Apabila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yang terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, 

sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir, Maka bila disuatu tempat adalah tengah malam , maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yang terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah bahwa hujjah yang mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dengan hadits qudsiy diatas, yang berarti Allah itu tetap di langit yang terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yang terendah.

Ulama Salaf sepakat bahwa “Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat” sebagaimana dinukilkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 254 :

 “Ketahuilah bahwa al-Qarafiy dan lain nya, mereka telah menghikayah dari Imam Syafi’i, dan Imam Malik, dan Imam Ahmad, dan Imam Abi Hanifah –Radhiyallahu ‘anhum- akan pendapat dengan kufur orang yang berkata dengan Jihat (orang yang berkata :Allah berada di arah atas atau bawah) dan orang yang menjisimkan Allah (orang yang berkata :Allah adalah benda atau bersifat dengan sifat benda) dan mereka mentahkik dengan demikian”.Itulah jawaban Ahlus Sunnah Waljama’ah dan para Ulama Salaf dan Khalaf untuk orang yg bertanya “Dimana Allah” sekaligus menjadi sanggahan bagi orang yg berkeyakinan “Allah bersemayam di atas Arasy” dan menisbahkan keyakinan mereka kepada Ahlus Sunnah dan Ulama Salaf, walaupun para ulama Ahlus Sunnah berbeda dalam bahasa penyampaian, namun berujung pada satu tujuan yaitu mensucikan Allah dari arah dan tempat, karena pada akidah bertempat atau berarah terdapat keserupaan Allah dengan makhluk-Nya, sekalipun membedakan kaifiyat nya, tetap saja kesamaan itu masih ada, cuma berbeda pada kaifiyat saja, sementara ketidaksamaan Allah dengan makhluk bukan pada kaifiyat saja, tapi juga pada hakikat dzat dan sifat-Nya.Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat – Maha suci Allah dari segala sifat makhluk

Suatu ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna "Istawa", beliau menjawab: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam itu memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah bertempat maka ia adalah seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhuk- Nya” (Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di antaranya oleh al-Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al- Akbar, al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al- Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam al-Burhan al- Mu’yyad).

Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut: “Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).

al-Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu Ja'far ath-Thahawi (w 321 H) dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan nama "al-'Aqidah ath-Thahwiyyah". Beliau berkata :
" وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي اْلبَشَرِ فَقَدْ كَفَر "

"Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir". Padahal telah diketahui bahwa beribadah kepada Allah hanya sah dilakukan oleh orang yang meyakini bahwa Allah dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya.

Related Posts:

0 Response to "ALLAH ADA TANPA TEMPAT, TANPA ARAH BAGIAN KE-2"

Post a Comment